SEJARAH SUKU KORAWI PAPUA
Suku Korowai
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka.
Sampai tahun 1970, mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka.
Bahasa
Bahasa mereka termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.
Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 35 tahun lalu di pedalaman Papua. Berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah bahkan bisa mencapai ketinggian 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka.
Orang-orang Korowai menempati kawasan hutan sekitar 150 kilometer dari Laut Arafura. Mereka adalah pemburu-pengumpul yang memiliki keterampilan bertahan hidup. Sampai sekitar 1975, Korowai hampir tidak mempunyai kontak dengan dunia luar. Mereka hanya mengenal diantara mereka saja.
Tinggal di kampung atau pemukiman kecil yang dibuat pemerintah, adalah fenomena yang relatif baru di kalangan Korowai. Mereka membangun rumah yang dibagi menjadi dua atau tiga kamar persegi panjang dengan tempat api di setiap kamar. Pria dan wanita tinggal terpisah. Pada tahun 1992, ketika desa Yaniruma diresmikan pemerintah Boven Digoel, tim pembuat film dokumenter sudah bisa mengunjungi Korowai di pemukiman mereka.
Sedikit saja informasi yang diketahui tentang Korowai sebelum 1978. Namun, dari berbagai sumber, diketahui, suku ini mengalami masa mengayau yang pelik. Kontak orang Korowai dengan dunia luar tercatat ketika mereka bertemu penginjil Johannes Veldhuizen, pada 4 Oktober 1978. Setelah kontak itu, sekitar 1980, Gereja kemudian membangun sekolah dasar dan klinik rawat jalan. Selama tahun-tahun pertama itu, Johannes Veldhuizen dan Henk Venema mengatur berbagai pertemuan dengan Korowai.
Antara tahun 1978 dan 1990, Korowai masih menempati hilir sungai. Mereka membuka kebun dan berburu. Mereka juga diperkenalkan dengan metode penyembuhan kesehatan yang diprogramkan pemerintah. Namun, meskipun telah mengetahui klinik rawat jalan di Yaniruma, banyak dari mereka masih menggunakan metode tradisional menyembuhkan sakit.
Suku Korowai sebagian besar masih mandiri. Mereka menghasilkan kapak dari batu, membuat garam dan banyak lainnya. Uang pertama yang dikenalkan berasal dari misionaris. Mereka juga membantu perintis gereja dan dibayar rupiah. Dengan uang ini, mereka bisa membeli barang di toko lokal seperti garam, pakaian, dan pisau cukur. Sejak 1990, Korowai telah terlibat dalam proyek-proyek kehutanan perusahaan asing. Mereka dipekerjakan sebagai pemandu wisata dan pengemudi perahu.
Meskipun banyak dari mereka tidak tamat SD, beberapa berhasil mengikuti pendidikan menengah di Kouh, Boven Digoel Atas. Kini, pemuda Korowai bisa belajar di Jayapura.
Secara tradisional, Korowai hidup dalam kondisi terisolasi. Mereka membangun rumah tinggi untuk melindungi keluarga tidak hanya terhadap serangan hewan buas, tetapi juga menangkal roh jahat. Untuk waktu yang lama, Korowai dianggap sangat tahan terhadap konversi agama. Namun, pada akhir tahun 1990-an, mereka mulai dibaptis.
Rumah Pohon dan Adat
Untuk membangun sebuah rumah, dipilih pohon besar kokoh sebagai tiang utama. Lantainya terbuat dari cabang. Kulit pohon sagu digunakan untuk membuat dinding. Atapnya dari daun hutan. Untuk merangkai rumah, dipilih tali rotan yang kuat. Untuk menjangkau rumah, disusun tangga panjang menjulai ke bawah. Sebelum menempati rumah itu, mereka akan melakukan ritual malam mengusir roh jahat.
Setiap keluarga memiliki kebun sagu. Mereka juga mengumpulkan sayuran hijau, dan buah-buahan yang semuanya tumbuh di hutan. Babi dan anjing adalah satu-satunya hewan peliharaan. Babi memiliki nilai sosial dan hanya dibunuh saat ritual dan di acara-acara khusus. Anjing digunakan untuk berburu. Untuk memancing, mereka menggunakan busur dan panah. Di masa lalu, buaya juga ditangkap untuk dimakan.
Korowai sangat patuh pada adat. Mereka mengenal pesta sagu. Ritual ini dilakukan setiap terjadi kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada momen seperti itu, barang-barang bernilai sosial seperti babi, gigi anjing, dan kerang, disajikan kepada kelompok yang menyelenggarakan ritual. Kelompok yang menerima, wajib membalas pada pesta berikutnya.
Ketika seseorang meninggal, hak atas tanah diteruskan kepada pewaris. Demikian pula, seorang pria ‘mewarisi’ adik ipar ketika saudaranya meninggal. Karena laki-laki harus membayar mas kawin, mereka menikah relatif terlambat, pada 20 tahun atau lebih tua. Sebaliknya wanita menikah setelah menstruasi pertama.
Setiap rumah tangga, terdiri dari seorang kepala keluarga, satu atau lebih istri dan anak-anak yang belum menikah. Jika ayahnya meninggal, ibu dan anak-anak yang belum menikah akan menjadi milik keluarga ayah.
Didalam keluarga, orang tua mengajar anak-anak segala aturan dan hal tabu. Seorang gadis muda akan aktif terlibat dalam semua peran ketika dinilai cukup umur. Setelah menikah, gadis dianggap sebagai wanita dewasa. Sementara, anak laki-laki belajar tentang cara berburu dan membuat rumah semenjak usia 15 tahun. Selama periode ini, para bocah diajarkan juga pengetahuan khusus, asal usul kehidupan dan cara bertahan hidup.
Keluarga Korowai sangat menyadari hal baik dan jahat. Mereka juga harus mengetahui tentang keseimbangan alam, kesehatan, seksualitas dan pengetahuan dunia roh. Korowai percaya bahwa alam semesta dipenuhi dengan makhluk spiritual yang berbahaya. Roh-roh nenek moyang memainkan peran khusus. Beberapa wanita tua, yang dikatakan memiliki pengetahuan spiritualitas, dianggap sebagai tokoh.
Mereka juga percaya, seseorang dapat menjelma menjadi hewan. Atau, mereka juga meyakini, roh orang yang meninggal akan berkeliaran di sekitar rumah pohon untuk beberapa waktu.
Konflik
Di masa lalu, konflik antara kelompok disebabkan oleh perzinahan, pencurian, pembunuhan dan masalah yang disebabkan oleh praktek ilmu jahat. Diperkirakan bahwa ritual kanibalisme terjadi sebagai bentuk pembalasan dan hukuman bagi dukun jahat. Setelah dibunuh, bagian tubuh orang akan dibagi antara klan dan kemudian dimakan.
Pada tahun 2006, sebuah tayangan televisi menunjukkan 60 menit pembunuhan seseorang dalam masyarakat Korowai yang dihukum karena menjadi khakhua (penyihir). Ia disiksa, dieksekusi, dan dimakan. Dalam proses itu, wanita hamil dan anak-anak tidak dilibatkan menjadi kanibal. Apapun yang terjadi, pembunuhan anggota klan, biasanya menuntut balas dendam. Hubungan antara kelompok, kerap didominasi saling bermusuhan untuk waktu yang lama.
Pernikahan juga merupakan sumber konflik. Ketika seorang wanita dalam keeluarga dianiaya, maka akan memicu balas dendam. Begitu pula dengan perzinahan. Perzinahan umumnya diselesaikan melalui pertukaran barang antara keluarga yang terlibat. Sementara, wanita yang dilarikan pria, biasanya diselesaikan dengan membayar mas kawin kepada keluarga wanita.
Dieksploitasi
Selama 90-an, orang luar mulai mengeksploitasi wilayah Korowai untuk mencari gaharu. Pada tahun 1997, 1 Kg gaharu yang dikumpulkan oleh warga lokal, dan dijual kepada pedagang, memiliki nilai sekitar Rp 4 ribu. Ketika gaharu dijual ke pasar Eropa dan Timur Tengah, harganya melonjak menjadi $ 1.000 per kilogram. Gaharu dianggap memicu perdagangan cepat dan menimbulkan prostitusi di hutan-hutan. Akibat seks bebas itu, epidemi AIDS mulai meningkat. Akhir dari perdagangan ini memudar pada tahun 1999.
Beberapa film dokumenter telah dibuat tentang Suku Korowai. Pada tahun 1993, sebuah kru film mendokumentasikan Korowai mengkonstruksi rumah pohon dan menunjukan praktek kanibalisme. Pada 2011, suku Korowai ditampilkan dalam dokumenter Human Planet di BBC.
Sebelumnya, Korowai juga dikunjungi Rupert Stasch, antropolog dari Reed College, Oregon. Dia tinggal bersama mereka selama 16 bulan untuk mempelajari kebudayaan asli. Stasch melakukan penelitian, yang hasilnya sudah diterbitkan dalam Jurnal Oceania.
Para peneliti menganggap masyarakat Korowai cukup cerdas karena mampu membangun konsep perkampungan pada wilayah yang sebenarnya sulit untuk ditinggali. Di antara sejumlah peneliti dan antropologi, mungkin yang paling fenomenal adalah kunjungan jurnalis bernama Paul Raffaele. Dia memang hanya menetap selama empat hari. Namun Raffaele menjabarkan perjalanan empat harinya di bulan Mei 2006 dengan sangat jelas.
Dalam situs smithsonianmag.com, Raffaele menjelaskan, meski masyarakat Suku Korowai memiliki kebiasaan memakan daging manusia (kanibal), hal itu ternyata tidak dilakukannya setiap saat. “Mereka juga memakan daging hewan yang biasa diburu seperti burung kasuari, ular, kadal, rusa, atau babi hutan. Mereka juga memenuhi nutrisinya dengan makan larva kumbang,” kata Raffaele.
Berdasarkan informasi dari Kembaren, pemandu wisata Raffaele saat itu, masyarakat Korowai sejauh ini masih memiliki kebiasaan memakan daging manusia. Namun ritual ini sudah jauh berkurang sejak mereka mulai mengenal dunia luar. Kembaren menambahkan, hampir semua orang dalam Suku Korowai pernah menjadi kanibal. Perilaku itu bukan sesuatu yang tabu.
Sumber ; BERBAGAI MEDIA
Tidak ada komentar: